Friday, 30 October 2009

Sabar itu memang indah

Pagi ini gue kena macet di pejompongan. Ga tau kenapa jalan yang biasanya cukup lancar, kali ini tersendat bahakan cenderung macet. Seperti biasa, beberapa pengendara motor bertingkah seakan-akan nenek moyangnya sudah mewariskan jalan untuk mereka. Dengan cueknya mereka naik ke trotoar untuk menghindari kemacetan. Dengan hebatnya mereka memacu motornya di atas trotoar sambil membunyikan klakson supaya pejalan kaki menyingkir dari trotoar. Sebuah pemandangan yang sangat menjengkelkan.

Ternyata tidak semua pejalan kaki sadar betul dengan apa yang sedang berlangsung. Seorang bapak tua yang sedang memikul perkakas sol sepatu tidak mendengar klakson yang bunyi dari arah belakangnya. Entah apa yang sedang dipikirkan si pengendara motor, tertabraklah bapak tadi. Si bapak terjerembab dan alat-alat sol sepatu miliknya terlempar dan berceceran di trotoar. Begitu juga sang pengendara motor, dia jatuh tertindih motornya sendiri.

Kejadian ini tentu saja memancing kemarahan orang di sekitarnya. Namun terjadi hal yang tidak terduga. Sang bapak tua yang seharusnya orang yang paling marah pada saat itu justru yang pertama kali berusaha menolong pengendara motor tadi. Beliau lebih memilih menolong si penabrak dibanding menyelamatkan perkakas sol miliknya yang menjadi alat mencari nafkahnya. Dengan suara yang lembut dan intonasi yang santun bapak itu bertanya, "Bapak baik-baik saja ? ada yang sakit ?". Kemudian dengan sepenuh hati mengangkat motor yang menimpa si pengendara. Semua orang terpana melihat kebaikannya. Yang sebelumnya melontarkan kata-kata kasar spontan terdiam. Yang sebelumnya cuek, jadi tergerak untuk membantu menolong.

Bapak tua tadi sudah "menampar" keras gue dengan kesabaran dan kebaikannya. Dan gue yakin, gue bukan satu-satunya orang yang merasakannya saat itu.